Wednesday, August 25, 2010

Anak Lengket dengan Pengasuhnya

Rileks saja dulu. Bisa dipahami Anda pasti ingin menjadi orang yang paling dekat dengan bayi yang Anda lahirkan. Tapi, sebetulnya tak masalah bila bayi diasuh orang lain dan merasa lebih nyaman dengan orang tersebut, sepanjang orang tersebut layak Anda percaya.

Jika Anda ingin kembali mendekat kepadanya, cobalah beberapa cara ini:
 
Titipkan baju yang sudah Anda pakai kepada si suster, jangan segera dicuci dulu. Penelitian psikolog MacFarlane membuktikan, bayi usia enam hari pun sudah bisa mengenali bau ibunya. Jadi, usahakan bayi Anda familiar dengan bau Anda.
 
Ketika Anda sedang di rumah, usahakan Anda yang melayani si kecil, terutama pada saat-saat ‘tidak enak’ seperti pipis, pup, sakit atau cuma gelisah. Orang dewasa pun senang ditemani pada saat-saat sedih, begitu juga si kecil.

Walau dia menangis ketika sedang Anda gendong, tetaplah tenang. Bisikkan kata-kata sayang dan bernyanyilah sambil tetap memeluknya. Lama-lama ia akan merasa nyaman juga berada di dekat Anda.

parenting

Bahasa Asing dalam Pendidikan Anak

Bahasa asing adalah sesuatu yang saat ini menjadi fokus titik perhatian banyak orang tua saat mencari sekolah bagi anaknya. Bahasa Inggris, bahkan bahasa ketiga, bahasa Mandarin misalnya seolah menjadi pertanda dari sebuah sekolah yang baik. Tulisan ini berusaha menyoroti pandangan-pandangan tersebut secara kritis, dengan harapan kita semua, orang tua, masyarakat lebih tepat mengambil sikap terhadap begitu banyak pilihan (lembaga pendidikan) yang hadir di hadapan kita semua.

Kalau salah dipahami, bisa saja terbaca bahwa saya anti bahasa Inggris atau anti sekolah-sekolah yang menawarkan Bahasa Inggris sebagai bagian utuh (integral) dari program-programnya. Sama sekali tidak, karena saya sendiri sangat suka dan berbahasa Inggris secara aktif. Saya juga sudah mengalami proses di mana hidup saya bergantung kepada kemampuan saya berbahasa Inggris. Di tulisan ini saya ingin berusaha memposisikan pembelajaran Bahasa Inggris dalam posisinya yang tepat dalam pendidikan anak-anak kita.
 
Bahasa Asing, Gengsi?
Pertanyaan pertama yang harus dimunculkan adalah kenapa semakin banyak orang tua begitu berambisi untuk semakin dini mendorong anak-anaknya mampu berbahasa Inggris? Saya amati faktor utamanya adalah betapa semakin ke sini, semakin masyarakat kita dibombardir dengan segala sesuatu yang berbau impor, segala yang dibayang-bayangi tema globalisasi dibelakangnya. Tumbuh kuat pandangan bahwa bahwa kita menjadi modern (maju) saat bisa berbahasa Inggris dan segala yang kita lakukan sehari-hari terkait hal-hal yang datang dari luar (diimpor).

Kalau ditinjau motivasinya secara pribadi, kemungkinan ada beberapa faktor di belakangnya. Pertama orang tua memang berencana untuk menyekolahkan anaknya di luar negeri atau untuk pindah berdomisili keluar Indonesia. Ini muncul dari faktor kebutuhan.

Kedua, yang saya amati lebih banyak terjadi, motivasi orang tua lebih banyak didasari gengsi. Bangga rasanya saat anak bisa mengucap kata-kata berbahasa asing. Mungkin seperti itu tadi, ada perasaan maju atau modern. Jadi ini tumbuh lebih karena gengsi atau istilah kerennya lifestyle. Atau mungkin orang tua merasa tenang saat anaknya mampu mengucap kata-kata dalam bahasa Inggris.

Tapi kalau kita coba bertanya kritis, untuk mayoritas kita masyarakat Indonesia, apakah ada kebutuhan anak untuk segera bicara bahasa asing, berkomunikasi secara aktif misalnya dalam bahasa Inggris? Di rumah, apakah komunikasi dijalankan dalam bahasa Inggris? Lalu di masyarakat luar rumahnya? Bahasa Inggriskah? Saya kira jawabannya tidak. Lalu apa dan bagaimana selanjutnya, ini yang harus kita lihat lebih jauh.
 
Proses Belajar yang Kontekstual
Belajar haruslah kontekstual. Dalam salah satu tulisan saya, saya menekankan pentingnya manusia belajar dalam konteks lingkungannya. Dan memang itulah proses alamiah bagaimana anak belajar, dalam konteksnya, dari lingkungan terdekatnya. Sejak bayi, mulai dari yang terdekat dengan dirinya sendiri : tempat tidur atau boksnya, kamarnya, rumahnya... mulai dari ruang keluarga, ke luar rumah di halaman dan seterusnya.

Sebagai sesuatu yang alamiah, ini berhubungan erat dengan proses belajar seseorang dari anak hingga dewasa. Sejak di dalam rahim, saat organ pendengaran dan syaraf-syarafnya lengkap, bayi belajar dari lingkungannya, dari suara-suara yang ditangkapnya di luar rahim ibunya juga ikut merasakan apa yang dialami ibunya. Dia mulai mencerap apa yang ada di luar: apakah keluarganya tinggal di lingkungan yang tenang, di gunung, atau dekat dengan air (suara ombak), atau di tengah hiruk pikuk kota besar. 

Apakah rumahnya tenang, atau orang tuanya sering marah-marahan. Sebelum lahir sang bayi sudah mulai mengenal lingkungannya. Setelah lahir, sang bayi belajar dari lingkungan terdekatnya yang semakin luas. Di tempat tidurnya, di kamarnya, di antara keluarga terdekatnya. Kemudian lingkaran tersebut semakin membesar: diajak mengenal tetangganya, dan familinya, dan saat dia mulai merangkak dan berjalan, ruang eksplorasinya, dunianyapun semakin membesar.

Inilah berlangsung seterusnya, saat anak mulai belajar di TK, SD, SMP dan seterusnya. Suatu saat anak mulai mengenal bahwa dia tinggal ditengah sebuah masyarakat kota, lalu di tengah sebuah wilayah budaya, dan akhirnya pada suatu saat lingkaran tersebut menyentuh skala global.

Dalam konteks pembelajaran, dikaitkan dengan proses pengenalan diri seseorang, sangat penting bahwa dia mengenali dirinya sendiri tahap demi tahap. Singkatnya sebelum dia bisa berbahasa Inggris, sangat penting bahwa dia menghayati dirinya bahwa adalah pertama-tama tinggal di tatar Sunda (misalnya), berbangsa Indonesia, sebelum menyadari dirinya adalah juga seorang individu di tengah ke globalan planet bumi ini. Ini kita istilahkan kesadaran kultural. Dan kesadaran kultural adalah sesuatu yang sangat penting saat kita bicara jati diri atau identitas seseorang. Karena saat kita sadar kita itu siapa dan bagaimana, kita tahu bagaimana harus bersikap dan membawa diri.

Jadi, sebagai orang Indonesia, seharusnya kita lebih bangga berbahasa Indonesia daripada bisa berbahasa Inggris, dan sebagai warga tatar Sunda, kita harus bangga saat mampu berbahasa Sunda. Inilah yang saya coba istilahkan sebagai kedewasaan kultural. Hal ini bisa kita lihat di masyarakat Jepang, misalnya. Bangsa yang kebanggaan kulturalnya sangat kuat sehingga tidak mudah bagi bahasa lain untuk masuk ke wilayah kebudayaannya. Yang terjadi sampai hari ini-pun yang di luar-lah yang harus menyesuaikan diri dan belajar bahasa mereka. Dalam perkembangan selanjutnya kesadaran anak harus berkembang ke konteks global, bahwa ada bangsa dan bahasa lain diluar dirinya, dan semakin banyak hal yang bisa dilakukannya kalau mampu berbahasa asing.
 
Cara Anak Belajar Berbahasa
Dalam obrolan tadi, Didit juga mengungkap tentang adanya sebuah penelitian bagaimana 'otak berbahasa' seorang anak bekerja berbeda dengan orang dewasa. Dimana karena perbedaan pola kerja otak tersebut, saat seorang menjadi dewasa, anak berproses lebih cepat dalam mempelajari bahasa daripada orang dewasa.

Sangat mungkin hal itu benar, tapi dalam pemahaman saya, penelitian-penelitian semacam itu, belum tentu bisa disimpulkan berlaku umum dimanapun. Bahasa pada dasarnya adalah sangat kultural, terkait erat dengan kebudayaan. Karena kultural, tentunya kemampuan berbahasa adalah juga terkait erat faktor genetis. Faktor genetis sangat mudah dijelaskan melalui dialek atau logat. Kenapa masyarakat Jawa langgam bahasanya sangat berbeda dengan masyarakat Maluku atau Batak, misalnya.

Kebudayaan adalah sangat terkait dengan situasi atau konteks sebuah masyarakat. Kalau kita ambil contoh negara-negara di Eropa, bahasa-bahasa di sana tumbuh dari rumpun bahasa yang berdekatan. Ini yang menyebabkan bahasa Jerman dan Belanda mirip satu sama lain. Logika dan struktur bahasanya serupa. Dan karena secara geografis kultur yang berbeda sangat berdekatan, pertukaran budaya sangat mudah terjadi, sehingga masyarakat di sana cenderung lebih mudah untuk menguasai bahasa yang berbeda.

Berbeda halnya dengan Jepang, misalnya. Walaupun kita tahu masyarakatnya secara intelegensi sangat cerdas, mereka cenderung lebih sulit menguasai bahasa kedua. Kita tahu cukup sulit orang-orang Jepang untuk menguasai bahasa Inggris misalnya. Sama halnya dengan orang Korea. Kalau kita amati mungkin karena Jepang adalah negara kepulauan dan ini punya pengaruh besar dalam proses mereka belajar berbahasa asing.

Berdasarkan pengamatan ini, rasanya penelitian-penelitian dan teori-teori tentang pembelajaran bahasa tidak bisa dengan sederhana digeneralisasikan di semua daerah. Teori yang dikembangkan di Eropa tidak dengan serta merta berlaku di Asia, misalnya. Ada variabel-variabel lain yang berperan di sana. Akhirnya kita harus sangat berhati-hati dengan apa yang diungkapkan oleh konsep-konsep pendidikan dari luar yang mengklaim teori-teori tertentu sebagai basis untuk metoda pembelajarannya serta untuk mempromosikan produknya. Apa yang berlaku di Singapura atau di Inggris sana, misalnya, tidak serta-merta bisa berlaku di Indonesia.

Yang harus kita perhatikan, dan perlu dipandang secara kritis oleh masyarakat (orang tua) adalah bagaimana semakin banyak lembaga yang mengklaim diri sebagai lembaga pendidikan dan memanfaatkan teori-teori pendidikan semacam itu untuk kepentingan promosi, mengemasnya secara komersial dengan tujuan profit. Contoh sederhana : Konsep bilingual / multilingual yang sekarang banyak ditawarkan di sekolah-sekolah dengan basis kurikulum asing terutama di kota-kota besar di Indonesia. Metoda semacam itu salah satunya banyak datang dari Singapura. Singapura, kita tahu masyarakatnya memang multikultural dan juga multilingual. Sehari-hari masyarakat mereka berbahasa (terutama) Chinese, Malay dan bahasa Inggris. Dan kalau kita perhatikan, bahasa Inggris mereka memang tidak terlalu baik, campur-campur, Singlish istilahnya. Dalam kondisi masyarakat demikian, memang cara berbahasa seperti itulah yang didengar anak sehari-hari.

Metode bilingual, tidak bisa dengan demikian saja diterapkan di Indonesia yang sebetulnya menganut bahasa nasional - bahasa Indonesia. Secara kultur, di masyarakat kita terjadi juga kondisi multilingual tapi dengan bahasa daerah. Masyarakat Indonesia, selain berbahasa Indonesia cukup banyak yang menganut bahasa daerah. Bukan bahasa Inggris. Tapi bahasa daerah itulah yang didengar anak dalam percakapan sehari-hari di masyarakat atau keluarga.

Masalahnya karena negara Singapura (segala yang berbau import) adalah salah satu acuan orientasi / trend gaya hidup masyarakat kita, konsep-konsep itu ditelan begitu saja oleh masyarakat kita yang ingin dianggap progresif atau trendy. Tapi kalau satu hal kita pandang penting bahwa anak-anak juga perlu menjadi dewasa secara kultural, memahami betul jati dirinya, sebagai orang Indonesia yang juga beretnis Sunda, Jawa, Tionghoa, atau Batak atau Betawi, sebelum mulai belajar berbahasa Inggris, maka ada tahapan-tahapan yang seharusnya diperhatikan mengenai kapan dan bagaimana anak belajar bahasa asing.

Kalau kita teliti juga, ada hasil yang rasanya kurang positif juga dari beberapa anak yang sempat kita amati langsung. Dampak dari terlalu dininya menerapkan pembelajaran multilingual di Indonesia adalah kegamangan atau kacaunya konsep bahasa dari anak-anak yang mengalaminya. 

Contoh sederhana : "Ini warna apa?" tanya guru, dan anak menjawab "Yellow!"... Sepintas tampak hebat anak bisa berbahasa Inggris, tapi kalau kita amati, pertanyaannya dalam bahasa Indonesia, dan ditanggapi anak dalam bahasa Inggris... Contoh lainnya "Ini bebek..." kata gurunya dan anak segera protes "Bukan, itu duck!". Contoh lain adalah kerancuan saat mereka mulai belajar membaca dan menulis karena huruf A dilafalkan 'e' dalam bahasa Indonesia, dan huruf P dalam bahasa Indonesia dilafalkan 'pi' dalam bahasa Inggris. Sebaliknya kalau anak diminta menuliskan suku kata pi (bahasa Indonesia), yang anak tuliskan adalah huruf P. 

Sebetulnya anak tidak melakukan kesalahan. Yang terjadi adalah bahwa anak mengalami kerancuan - kebingungan dalam konsep bahasanya. Kalau anak mulai berbahasa dengan campur aduk, apakah bisa dikatakan bahwa anak berbahasa dengan baik?

Yang seharusnya terjadi (di Indonesia) adalah anak pertama-tama menguasai dulu bahasa ibu, bahasa Indonesia. Dan dikenalkan kata-kata yang sudah dikuasainya dalam bahasanya yang pertama. Colours, misalnya bisa dikenalkan segera setelah anak sudah paham dengan baik nama warna-warna dalam bahasa Indonesia. Jadi saya kira banyak orang salah menafsirkan saat berkata bahwa pada usia dini inilah kemampuan anak sangat besar untuk belajar bahasa. Dari satu sisi betul, karena memang inilah saatnya mereka belajar berkomunikasi. Dan tidak terbatas pada hanya bahasa, kemampuan anak sangat luar biasa untuk mencerap segala sesuatu dari lingkungannya. Tapi orang sering lupa bahwa proses belajar anak adalah sedemikian unik, bahwa cara dan pendekatan juga waktu (timing) untuk memperkenalkannya adalah sangat penting bagi proses anak belajar sebuah bahasa baru. Inti tulisan ini adalah sama sekali bukan untuk mengesampingkan pentingnya belajar bahasa Inggris (bahasa asing) tapi bahwa ada tahapan-tahapan dan cara yang perlu diperhatikan.

Yang menjadi kekhawatiran adalah banyaknya tawaran-tawaran kegiatan pendidikan yang terutama bertujuan profit, bukan bertujuan menumbuh kembangkan anak sesuai proses dan tahapan belajar yang seharusnya terjadi. Sangat disayangkan kalau yang terjadi justru kerancuan-kerancuan, saat kita sedang membangun pondasi kemampuan belajar yang mantap di usia dini anak-anak kita.
 
Bahasa adalah Survival
Terakhir, pertanyaan Didit adalah: "kamu sendiri bagaimana Andy. Kapan dan bagaimana bisa aktif berbahasa Inggris?" Bahasa menurut saya adalah tentang survival. Tentang bagaimana kita hidup di sebuah masyarakat yang tentunya menuntut kita untuk berkomunikasi kalau kita ingin hidup di dalamnya. Saya berbahasa Inggris secara aktif, dalam 2 minggu sejak saya tinggal di Australia. Bukan sebelumnya, walaupun saya sangat suka membaca buku yang berbahasa Inggris sejak di SMA. Karena untuk hidup dan menjalankan kegiatan, minimal saya harus bertanya tentang arah, bagaimana harus ini, bagaimana harus itu… Dalam waktu singkat memang kita dikondisikan untuk berbahasa asing secara aktif. Hal ini menjelaskan juga tentang konteks, tentang di tengah masyarakat mana kita hidup, dengan demikian tentang budaya.

Kalau kita bayangkan, bagaimana kalau kita misalnya ditempatkan tiba-tiba di sebuah suku di lereng pegunungan di Tibet misalnya. Saya yakin kita akan mengkondisikan diri belajar dengan cepat untuk berkomunikasi. Dan saya yakin proses itu akan cepat karena hal itu berkaitan dengan kelangsungan hidup kita, walaupun kita tidak pernah kursus bahasa Tibet sebelumnya.

Menjadi masalah di masyarakat kita saat bahasa asing juga ditempatkan menjadi sesuatu yang sulit dan rumit. Saat kita mengajak anak-anak menonton filem tapi memilihkan yang sudah didubbing, misalnya. Atau saat buku-buku novel (jangankan buku teks) diterjemahkan. Hal-hal semacam ini menimbulkan persepsi di anak (dan di masyarakat kita) bahwa bahasa asing adalah sesuatu yang sulit dan perlu dihindari.
 
Kalau bisa saya coba simpulkan pemikiran-pemikiran di atas: pertama, bagaimanapun yang namanya bahasa pertama (first language - dalam bahasa Inggris) tidak pernah bisa digantikan dengan bahasa asing. Jadi memang bahasa pertama harus pertama-tama dikuasai sebelum seseorang mempelajari bahasa kedua.

Kedua, bahasa adalah bukan sekedar sebuah keterampilan atau skill, dia punya peran luar biasa dalam pembentukan identitas seseorang. Bahasa punya keterkaitan luar biasa dengan proses pembentukan kesadaran dan kedewasaan budaya seseorang. Sebagai sebuah proses, menjadi dewasa adalah sesuatu yang memerlukan waktu dan tidak dapat dengan begitu saja dipercepat atau dilewati tahapan-tahapannya.

Terakhir, bahasa asing, tidak hanya bahasa Inggris adalah keterampilan yang menjadi luar biasa penting dalam era informasi dan komunikasi ini. Saat kita mampu menguasai banyak bahasa asing, hal ini akan sangat menentukan bagaimana kita bisa berinteraksi secara global. Yang harus diperhatikan adalah jangan sampai kita menjadi asing justru di masyarakat kita sendiri.

Tulisan ini pada akhirnya hanyalah sebuah pandangan, hasil pemikiran atau katakanlah sebuah wacana. Sangat terbuka untuk dibahas lanjut, didebat dan dipertentangkan. Salam.

Andy Sutiyono | Semipalar.net

Saturday, August 21, 2010

Nujuh Bulan Atau Baby Shower..?

Akhir April lalu, saat usia kehamilannya menginjak tujuh bulan, Wulan Guritno menggelar baby shower. Acara "nujuhbulanan" ini lalu disertai dengan pengajian untuk mendoakan anaknya.

Baby shower merupakan tradisi Amerika, dimana ibu hamil merayakan kehamilannya dengan mengundang keluarga dan para sahabat. Niatnya, seperti juga acara selamatan yang kerap dilakukan di Indonesia, adalah mensyukuri proses kehamilan yang lancar, sekaligus bersiap menyambut kehadiran sang jabang bayi. Oleh karena itu, para tamu biasanya membawa hadiah berupa peralatan bayi.

Aturannya, acara ini tidak boleh digelar oleh si calon ibu sendiri, melainkan anggota keluarga atau teman-temannya. "Panitia" ini harus berdiskusi dengan calon ibu untuk menentukan siapa yang ingin diundang, dan hadiah apa yang paling diperlukan. Bahkan, si calon ibu disarankan untuk me-register gift di toko khusus yang sudah dipilih untuk menyediakan keperluan bayi tersebut.

Hal inilah yang dilakukan Muktiara Ikhlas (27), saat menggelar baby shower-nya, November lalu. Ketika usia kehamilannya menginjak 8 bulan, ia me-register gift di sebuah toko retailer dari Inggris yang menyediakan kebutuhan ibu dan bayi. Kepada toko ini, Muktiara mengatakan ingin register untuk bayi yang baru lahir, dan memberikan daftar barang yang ia perlukan.

"Nah, karena adikku yang punya ide bikin baby shower ini tahu aku register barang-barang di situ, dia ngasih tahu keluargaku untuk membeli barang di sana. Tujuannya biar enggak ada barang yang dobel-dobel, dan semuanya memang yang aku butuhkan dan aku mau," tutur perempuan pengusaha ini.

Untuk acara baby shower-nya, Muktiara juga hanya mengundang keluarga dekatnya saja, yaitu kakak-kakak dan sepupu-sepupunya. "Biasanya yang diundang itu cewek-cewek aja, tapi pas datang suaminya ikut juga. Acaranya ya, makan-makan, terus buka kado bareng," paparnya.

Selain memilih hadiah, calon ibu juga bisa menentukan hidangan apa yang ingin disajikan, serta tema pestanya. Seperti Wulan Guritno, yang memilih menjadi Ratu Elizabeth dalam baby shower-nya. Umumnya, tema baby shower ini dibuat jika acaranya memang dirancang dengan serius. Bahkan, disiapkan juga game-game seru untuk mengisi acaranya nanti.

Merasa bersalah
Banyak kaum perempuan di Inggris yang saat ini juga dikabarkan mulai mengadakan tradisi ini. Menurut jajak pendapat yang digelar belum lama ini, dua pertiga dari ibu hamil kini merencanakan untuk memanjakan dirinya dengan pesta menyambut kelahiran bayi. Rata-rata ibu hamil ini akan menerima hadiah senilai Rp 2.000.000, demikian menurut studi yang diadakan perusahaan hadiah Me to You.

"Seringkali calon ibu jadi merasa bersalah karena mengadakan pesta dimana teman-teman dan keluarga diharapkan datang dengan membawa banyak buah tangan," ujar juru bicara Me to You, yang mengadakan polling dengan melibatkan 3.000 perempuan ini. "Tetapi kenyataannya, semua orang pasti suka berbelanja untuk bayi, dan hadiahnya juga tidak perlu mahal, kok."

Barang yang dibeli biasanya juga yang sifatnya tahan lama, dan dapat meningkatkan ikatan yang kuat antara ibu dan bayinya. Mainan (24 persen), perlengkapan untuk kamar bayi (22 persen), dan pakaian bayi (31 persen), adalah beberapa jenis barang yang biasanya akan diterima si calon ibu.

Dari survei tersebut terlihat, akibat berbagai pemberian itu 54 persen dari ibu hamil bahkan tidak perlu membeli benda apapun sampai bulan-bulan pertama kelahiran bayinya. Apalagi, meskipun sudah menggelar baby shower, 71 persen ibu baru juga masih menerima aliran hadiah setelah bayinya lahir. Tidak heran, dari studi tersebut juga terlihat bahwa 87 persen ibu di Inggris menganggap menggelar acara ini adalah ide yang brilian.

"Tampaknya mayoritas ibu menyukai ide baby shower ini. Selain menganggap acara itu sungguh emosional, manfaat dari hadiahnya juga terasa. Membesarkan anak itu kan mahal, jadi mengawalinya dari bulan-bulan pertama itu sangat membantu," papar sang juru bicara lagi.

Nah, justru karena ada elemen menerima hadiah itulah, sebagian perempuan masih merasa risih mengadakan baby shower. Itu sebabnya, pasangan yang sedang menantikan kehadiran anak biasanya tidak menjadi tuan rumah atau panitianya.

Wulan sendiri punya alasan khusus mengapa tidak mengadakan syukuran dengan adat Jawa. "Waktu nikah udah pakai adat Jawa. Pas nuju bulanan, kami mau pakai adat Eropa. Namanya baby shower," ujarnya pada Tabloid NOVA, April lalu.

Bagaimana dengan Anda? Perlukah menggelar baby shower seperti ini?

Menikmati Perubahan Tubuh Saat Hamil

Kehamilan tentu akan membuat Anda berbunga-bunga, apalagi jika kehamilan ini memang sudah lama Anda nantikan. Meskipun begitu, ada sedikit rasa was-was mengingat akan ada perubahan besar dalam tubuh Anda. Dari perut yang membesar, stretch mark yang akan muncul di sana-sini, hingga payudara yang mungkin akan turun usai menyusui nanti. Anda juga membandingkan diri Anda dengan teman perempuan Anda yang berhasil menurunkan berat badan kembali semula.

Pikiran-pikiran buruk seperti ini hanya akan membuat Anda stres. Padahal, kehamilan seharusnya dirayakan dan dinikmati. Lagipula, apa yang Anda khawatirkan sebenarnya belum tentu terjadi, atau tidak membuat orang lain mengubah pandangannya mengenai Anda. Bahkan, seorang pria bisa mengatakan bahwa istrinya terlihat sangat seksi ketika sedang hamil muda.

Karena itu, kehamilan seharusnya justru bisa membuat Anda lebih merasa nyaman dengan tubuh Anda sendiri. Banyak hal yang justru akan membuat Anda menikmati perubahan tubuh Anda, seperti:

1. Payudara lebih berisi. Untuk perempuan yang berpayudara kecil, ini saatnya melihat tubuh Anda menjadi lebih berisi dan seksi. Meskipun demikian, tak akan ada orang yang memandang Anda secara erotis, mengingat kehamilan itu sendiri sifatnya alami. Dan, karena kehamilan ini hanya berlangsung sembilan bulan, tidak ada yang salah jika Anda berusaha menikmatinya selama mungkin.

2. Menikmati kehadiran mahluk mungil di dalam perut Anda. Ketika pertama kali mendengar detak jantung janin di dalam kandungan, itulah saat yang luar biasa karena Anda menyadari bahwa ia hidup di dalam diri Anda. Dalam bulan-bulan berikutnya, Anda akan menikmati gerakannya, seperti tendangannya yang membuat kebahagiaan Anda meluap-luap. Menikmati momen ini akan membantu Anda terikat dengan sosok si bayi, dan menghargai setiap keunikan yang terjadi pada tubuh Anda.

3. Tidak perlu diet. Dalam arti, jika selama ini Anda berusaha keras membatasi diri untuk tidak makan malam atau pantang makanan tertentu, saat hamil Anda justru akan berusaha memenuhi semua kebutuhan gizi. Jika sebelumnya Anda enggan minum susu karena takut gemuk, sekarang Anda justru harus minum susu. Hanya saja, Anda tetap perlu mengikuti petunjuk dokter dalam jumlah asupan. Bila tidak, bisa-bisa Anda malah mengalami diabetes selama kehamilan atau kelebihan berat badan.

4. Lebih banyak istirahat. Ketika hamil, Anda pasti akan lebih sadar untuk mengurus diri. Bila sebelumnya Anda tak khawatir saat harus lembur, kini Anda berusaha selalu pulang tenggo. Di luar jam kantor, Anda juga merasa bahwa ini saatnya Anda bisa menikmati me time. Entah itu dengan nyalon, massage, atau leyeh-leyeh saja sambil membaca novel, yang bisa membuat tubuh dan pikiran Anda lebih rileks.

5. Perubahan posisi saat berhubungan intim. Perut yang mulai membesar, dan perubahan hormonal yang terjadi pada tubuh membuat Anda bisa "menuntut" hal-hal yang tak biasa dilakukan bersama suami. Misalnya, melakukan variasi posisi yang lebih memudahkan dan membuat Anda lebih mampu mengeksplorasi titik sensitif pada tubuh. Bukan tak mungkin suami pun akan menemukan hal-hal baru yang juga lebih memuaskan baginya.

6. Lebih gampang orgasme. Ketika Anda mampu melakukan hubungan seksual saat kehamilan, ada kemungkinan Anda merasakan orgasme yang sangat intens. Pelatih dan konsultan kehamilan, Danielle Cavalluci, penulis buku Your Orgasmic Pregnancy: Little Sex Secrets Every Hot Mama Should Know, bahkan mengatakan bahwa orgasme yang dialami bisa berulang.

"Seluruh area kelamin, panggul, dan rahim yang terisi dengan pembuluh darah menjadi lebih membesar sehingga daerah vagina Anda akan lebih sensitif. Apa pun rangsangan yang datang, bahkan sekadar fantasi seksual, bisa menyebabkan atau mendorong Anda mencapai orgasme," ungkap Cavalluci.

7. Belanja pakaian. Anda yang terbiasa tampil gaya tentu merasa tetap harus terlihat stylish meskipun sedang hamil. Hal ini akan menantang kreativitas Anda untuk melakukan padu padan koleksi pakaian yang lama dan yang baru Anda beli. Anda bisa browsing baju-baju hamil di internet, dan punya alasan kuat untuk berbelanja pakaian baru di mal. Menunggu lungsuran dari kakak atau teman juga akan mengasyikkan.

Kompas

Masalah Makan pada Bayi

Bayi butuh makanan untuk tetap sehat dan bisa tumbuh besar. Apa saja problema umum antara bayi dan makanannya?

* Menghindari Makanan Baru
Penulis The Complete Idiot's Guide to Feeding Your Baby and Toddler, Elizabeth Ward, MS, RD, mengatakan, bayi memang sudah terprogram untuk menghindari makanan yang baru diperkenalkan padanya. Untuk membantu si bayi menerima makanan baru, mulailah dengan porsi kecil. Coba pula untuk membuat makanan baru menyerupai dengan makanan favoritnya. Jika ia suka puree wortel, coba buat puree kentang manis.

* Melukis Lantai dengan Makanan
Makanan ada di seluruh wilayah makan si kecil? Ada yang tersangkut di rambutnya, sebagian di lantai, sebagian lainnya terlempar ke ruang lain? Selamat! Anak Anda sudah menunjukkan tanda-tanda kemandirian. Di usia sekitar 9 bulan, banyak bayi yang mau berusaha untuk mengkontrol sendiri waktu makan dan di mana mereka ingin menaruh makanannya. Meski sulit untuk bisa menerima kekotoran ini, cobalah membuka hati, karena tindakan ini merupakan langkah penting untuk perkembangan pola belajar, pertumbuhan, dan kepercayaan diri si kecil.

* Meludah, Muntah, dan Gumob
Adalah hal yang amat lumrah untuk bayi meludah sedikit, apalagi bayi yang baru lahir. Sistem pencernaan bayi masih berkembang. Bayi juga bisa mengalami refluks, ketika makanan yang ada di dalam perut si kecil keluar kembali melewati kerongkongannya. Untuk mengatasi hal ini, coba suapi si kecil perlahan-lahan. Atau, cara lainnya, kurangi konsumsi makanannya, longgarkan popoknya, dan pastikan posisinya tegak saat menerima makanan.

* Menolak Makanan
Anda menyuapi makanan ke bibir si kecil, dan ia menolehkan wajahnya dari Anda, mendorong sendok, atau menutup bibirnya. Bayi menolak makanan untuk banyak alasan; sudah terlalu lelah, sakit, teralihkan, atau kenyang. Jangan paksa bayi untuk makan. Namun, konsultasikan pada dokter anak jika Anda khawatir si kecil makin sulit untuk menerima makanan.

* Pilah-pilih Makanan
Memilih-milih makanan bisa berlangsung berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, namun jarang bertahan lama. Bayi bisa menjadi picky eater karena banyak alasan. Saat si bayi sedang tak merasa nyaman dengan keadaan, misal, saat tumbuh gigi, makanan favorit dan lebih ia kenal akan memberikan rasa lebih nyaman. Atau ketika si kecil hanya belum siap saja menerima menu baru.

* Alergi Makanan dan Intoleransi
Sekitar 8 persen anak-anak mengalami alergi makanan. Ciri-cirinya; radang, diare, muntah-muntah, atau rasa sakit pada perut yang mendadak. Anak-anak bisa alergi terhadap banyak jenis makanan, mulai dari susu, kacang-kacangan, telur, kedelai, gandum, kerang, dan makanan lainnya. Intoleransi makanan adalah hal yang paling umum terjadi pada anak-anak ketimbang alergi. Intoleransi bisa menyebabkan gas, kembung, dan rasa sakit pada perut. Jika Anda curiga si kecil alergi suatu jenis makanan, coba konsultasikan kembali kepada dokter anak Anda untuk mendapatkan makanan yang aman.

* Kolik dan Nafsu Makan Si Kecil
Sebanyak 2 dari 5 bayi mengalami kolik, salah satu cirinya adalah menangis berjam-jam. Kolik bisa terjadi ketika bayi masih berumur 3 minggu, dan biasanya berhenti ketika si kecil sudah mencapai usia 3 bulan. Kolik tak akan mengganggu nafsu makan si bayi atau kemampuannya untuk mengisap, namun bayi akan butuh waktu untuk menenangkan diri sebelum makan. Jika Anda menemukan si kecil muntah, diare, demam, kehilangan berat badan, atau ada darah pada kotorannya, segera bawa ke dokter, karena ini bukan gejala kolik.

* Diare dan Sembelit
Diare bisa menyebabkan dehidrasi. Ciri-cirinya, mulut kering, berkurangnya urin atau popok basah, tak ada air mata saat menangis, kekurangan berat badan, lemas, dan mata cekung. Segera hubungi dokter bayi Anda jika terlihat ada satu atau lebih gejala-gejala semacam ini.

Bayi sangat jarang mengalami konstipasti. Bayi yang diberikan ASI eksklusif bisa saja hanya akan mengeluarkan kotoran keras sekali dalam sehari. Contoh konstipasi adalah ketika tinja yang dikeluarkan si bayi ukurannya cukup besar, sakit, dan ada darah di kotoran tersebut. Sebelum mencoba melakukan pengobatan sendiri, konsultasikan dengan dokter anak Anda.

Jangan Berikan Makanan Ini Kepada Bayi Anda
Sistem pencernaan bayi masih belum sempurna, dan belum bisa menerima semua makanan yang bisa diterima pencernaan orang dewasa. Contohnya, madu. Madu bisa menyebabkan botulisme pada bayi, dan hasilnya bisa fatal. Jauhi anak dari makanan yang bisa menyebabkan anak tersedak, seperti popcorn, hotdog, buah dan sayuran mentah, kismis, daging dan keju dalam ukuran besar.

Kompas