Oleh : Dra. Magdalena Sitorus
(Wakil Ketua II KPAI 2007-2010)
Perlindungan anak masih belum tertata dengan baik dari segi kebijakan, hingga saat ini, karena banyak kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan anak tidak menggunakan konvensi hak anak sebagai dasar pertimbangan. Termasuk UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002. Secara logika hukum, sumber hukum perlindungan anak seharusnya berasal dari konvensi hak anak, kemudian disesuaikan dengan nilai-nila sosial budaya negara bangsa Indonesia dan spirit agama-agama.
Terabaikannya KHA sebagai pertimbangan hukum pada semua perundang-undangan yang mengatur perlindungan anak bukan tanpa sebab, karena cara pandang pemerintah pada saat itu (orde baru), dalam membuat kebijakan masih merujuk pada pemenuhan dasar (needs based) khususnya disektor pendidikan, kesehatan, gizi dan kesejahteraan sosial, yang semestinya harus merujuk pada pemenuhan hak (rights based), termasuk persoalan perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi dan penelantaran. Prinsipnya bahwa subyek (dalam hal ini rakyat) tidak sebatas memberi pandangan tetapi juga sebagai fungsi kontrol. Sebagai contoh Indonesia baru mensahkan UU Perlindungan anak pada tahun 2002, sedangkan UU kesejahteraan anak telah diterbitkan pada tahun 1979.
Menurut konsultan naskah akademik KHA dari KPAI, Irwanto, Ph.D, bahwa argumen Pemerintah kala itu, untuk mempercepat proses ratifikasi dan kepatuhan pada prosedur seperti yang diminta konvensi tersebut, sangat tidak beralasan, pertama, Presiden kala itu (Soeharto) memiliki kekuatan yang sangat besar sehingga jika benar pemerintah berkehendak mempercepat keterikatannya dalam konvensi tersebut maka hal tersebut dapat dengan mudah dilakukan dengan usulan Presiden pada Parlemen yang akan segera menyetujuinya; kedua, dengan direservasinya tujuh pasal KHA (pasal 1, 14, 16, 19, 21, 22 dan 29) yang sesungguhnya saling berkaitan dengan pasal-pasal lainnya membuat sulit untuk mengiterpretasi apalagi memastikan produk legislasi lainnya berselarasan dengan konvensi secara menyeluruh. Lebih lanjut Irwanto menegaskan, jika status KHA belum ditingkatkan menjadi Undang-undang maka sulit bahkan tidak mungkin KHA menjadi pertimbangan setiap perundang-undangan.
Dalam dialog (11/2/08) yang digagas oleh KPAI di gedung Dirjen HAM bersama Harkistuti Harkisnowo beserta para direktur dan kasubdit Ditjen HAM, Deputy Perlindungan anak KPP, Deplu, Depnakertrans, Ketua dan wakil Ketua KPAI, Tim Ahli KPAI Rahmat Sentika, UNICEF, Save The Children, Plan Internasional, ILO, Indoensia Acts terjadi perbedaan dalam memandang status ratifikasi KHA.
Sebagian berpendapat tidak perlu Indonesia meratifikasi kembali KHA dan isinya sudah sesuai dengan UU Perlindungan Anak No 23 tahun 2002, sedangkan yang lain berpendapat pentingnya peningkatan status KHA menjadi UU, peningkatan status bukan berarti meratifikasi kembali namun hanya merubah status KHA menjadi setingkat UU.
Disamping itu menurut UU No 10 Tahun 2004 tentang perundang-undangan bahwa Keppres tidak bisa menjadi dasar pertimbangan UU, serta menegaskan kembali tentang reservasi yang belum resmi dicabut oleh pemerintah terhadap 7 pasal. Harkistuti berpendapat bahwa peningkatan status KHA ini sangat berpengaruh pada semua level perundang-undangan. Misal Ditjen HAM sekarang sedang mengusulkan amandemen UU Pengadilan Anak, tetapi KHA tidak bisa menjadi dasar pertimbangan/konsisderan.
Sampai kapanpun KHA tidak dapat menjadi konsideran perUUan jika belum dtingkat statusnya, dan masalah peningkatan status ini bukan berarti meratifikasi dua kali dan hal ini meruapakan masalah domestik Indonesia. untuk itu KPAI bersama-sama stakeholder yang bergerak di bidang perlindungan anak berupaya mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk dapat meningkatkan status KHA dan meratifikasi 2 optional protocol, yaitu, tentang perdagangan anak, pronografi dan prostitusi, dan opsional protokol Pelarangan Pelibatan Anak dalam Konflik Bersenjata.
Diharap tahun 2008, peningkatan status KHA dan ratifikasi 2 optional protocol sudah dibahas dan disahkan oleh DPR RI bersama Pemerintah. Harapan ini merupakan kebutuhan bangsa Indonesia dalam meningkatkan perlindungan anak mulai dari level peraturan daerah sampai peraturan nasional, dan tentunya dunia internasional tidak lagi mempertanyakan komitmen kesungguhan Indonesia dalam melakukan pemenuhan hak-hak anak.
Sumber : www.kpai.go.id
No comments:
Post a Comment