Saturday, November 1, 2008

Menunda Kelahiran Bisa Berisiko Fatal

Yenni (34), ibu yang tengah hamil anak kedua merasa resah. Menjelang persalinan, dia cemas mengingat pengalaman buruk yang dialaminya tiga tahun lalu. Ketika melahirkan anak pertama, dokter yang biasa memeriksa Yenni datang terlambat hampir dua jam. Padahal bayi yang dikandungnya sudah siap keluar, sementara Yenni kehabisan tenaga menahan sakit.

Saya sampai teriak-teriak minta dokter pengganti atau bidan saja, untuk membantu persalinan. Namun perawat dan bidan di ruangan itu malah menyuruh saya tidak mengejan, supaya anak enggak keluar," tutur Yenni yang melahirkan di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta Pusat.

Usia kehamilan anak pertama Yenni sudah lewat. Sampai dua minggu dari waktu yang diperkirakan, anak pertama Yenni belum juga lahir. Setelah diinduksi tiga kali, setengah jam kemudian Yenni merasakan kontraksi hebat. Ketubannya pecah, sementara pembukaan rahim baru satu. Hampir 12 jam dia menunggu jalan lahirnya terbuka penuh. Masa penantian yang lama diiringi kontraksi itu, membuat Yenni kehabisan tenaga menahan sakit.

Begitu pembukaan sudah lengkap, dokter kandungan belum datang. Kontraksi hebat membuat dia kehabisan napas. Dua jam kemudian dokter baru datang. Namun Yenni sudah kehabisan tenaga saat disuruh mengejan untuk mengeluarkan bayi. Setelah dibius lokal dan dibukakan jalan, baru anaknya lahir.

Kehabisan napas
Yenni hanya satu dari banyak kasus persalinan yang dialami sebagian ibu. Sebaliknya dari Yenni, Saraswati (32) sengaja "menunda" kelahiran setelah divonis dokter harus operasi cesar, karena posisi bayi sungsang. Alasannya, dia ingin anaknya punya hari ulang tahun sama dengan si ayah.

Meski kasusnya berbeda, Yenni maupun Saras mengaku tak menyadari bahaya dan risiko kelahiran yang tertunda. Dokter spesialis kebidanan dan kandungan, Antonius Herry SpOG dari RS Siloam Gleneagles, Karawaci, Tangerang, mengungkapkan, kelahiran yang tertunda, baik sengaja maupun tidak, membahayakan keselamatan ibu dan anak.

Ibu yang sudah waktunya melahirkan, tak harus menunggu dokter untuk menolong persalinan. Jika kehamilannya normal, persalinan cukup dibantu bidan, tanpa harus menunggu dokter datang. Apalagi jika si ibu sudah tak kuat menahan sakit.

Menurut dia, ada sebagian ibu yang sensitif pada rasa sakit. Ketika melahirkan, ibu yang tak kuat menahan sakit akan "kehabisan" napas. Napasnya menjadi tidak teratur sehingga mempengaruhi pasokan oksigen untuk organ vital ibu dan anak.

"Kalau sudah begitu, si ibu harus segera dioperasi," kata Antonius.

Kesakitan juga bisa membuat si ibu mengalami darah tinggi, yang dapat berakibat lebih fatal seperti koma, stroke, dan meninggal. Jantung bayi menjadi lemah dan bisa berhenti kapan saja.

"Oleh karena itu, kalau memang bayi sudah siap lahir, harus segera dilahirkan. Kalau tidak ada dokter, bidan bisa membantu," ujarnya. Dokter hanya mendampingi bila terjadi komplikasi, seperti pada pasien penderita darah tinggi, jantung, atau asma.

"Dokter akan bertindak kalau terjadi apa-apa pada proses persalinan, seperti operasi, induksi, atau vacuum," tuturnya.

Persoalannya, di Indonesia sebagian orang kurang percaya pada bidan untuk membantu proses kelahiran normal. Menurut Antonius, hal ini terjadi karena ada sebagian bidan yang pendidikannya dirasa masih kurang.

Selain itu, ada pula budaya "tidak enak" di kalangan bidan, jika ibu yang membutuhkan pertolongan adalah pasien dokter terkenal dan bekerja di rumah sakit sama.

"Masih ada penilaian etis dan tidak etis, karena takut dianggap lancang terhadap dokter yang menangani. Sebaiknya anggapan semacam itu dihilangkan," kata Antonius.

Percaya mitos
Selain lambat mendapat pertolongan, ada juga ibu yang sengaja mengatur waktu kelahiran karena percaya mitos. Kepercayaan ini membuat mereka menunda atau mempercepat kelahiran.

Secara teori, menurut Antonius, menunda kelahiran bisa dilakukan hingga dua minggu dari waktu seharusnya. Setelah lewat dua minggu, bayi harus dikeluarkan. Alasannya, kalau sudah lewat waktu kehamilan, plasenta bisa berhenti berfungsi.

Kalau plasenta tak bekerja, pasokan darah ke janin bisa terhenti. Penundaan juga bisa mengakibatkan plasenta menjadi berkalsium. Peredaran darah di plasenta tertutup kalsium, sehingga bayi dalam kandungan stres karena tak mendapat cukup oksigen.

Risiko lain adalah bayi keracunan ketuban. Air ketuban pada kehamilan yang sudah lewat umur bisa berubah warna menjadi hijau. Antonius mengatakan, air ketuban berwarna hijau menandakan bayi sudah mengalami stres.

"Bayi sudah buang air besar dan kecil di dalam perut, sehingga air ketuban berwarna hijau," kata Antonius.

Jika lewat waktu, bayi yang sudah "tua" dalam kandungan harus dilahirkan dengan bantuan induksi atau diberi rangsangan. Induksi diberikan agar ibu bisa melahirkan secara normal. Induksi memberi rangsangan kepada rahim untuk berkontraksi. Cara induksi yang dinilai paling aman dan tepat, dengan infus, bukan dimasukkan vagina (trans vaginal).

Induksi dengan infus bisa mengatur kontraksi secara bertahap. Jadi, tingkat kontraksi diatur agar tak berlebihan. Kontraksi berlebihan berbahaya bagi ibu yang sensitif terhadap rasa sakit. Induksi melalui infus juga mengurangi risiko keretakan kandungan.

Tentang ibu yang sengaja mempercepat kelahiran, menurut Antonius, proses ini tak berbahaya bagi ibu, tetapi berbahaya bagi bayi. Bayi akan dilahirkan dalam kondisi belum cukup umur atau prematur.

No comments:

Post a Comment