Friday, October 31, 2008

Bicara Seks kepada Anak

"Kok ibu tidak hamil?" Itu pertanyaan anak berumur lima tahun kepada ibunya. Anak-anak sejak usia dini perlu mendapat pengetahuan seputar seksualitas. Akan tetapi, orangtua kadang jengah membicarakannya di ruang keluarga.

Pertanyaan tersebut merupakan bagian dari pertanyaan seorang ibu peserta bincang-bincang bertema "Bicara Seks pada Anak" yang diadakan Jagadnita Consulting di Citywalk Sudirman, Jakarta. Pertanyaan itu muncul ketika sang anak melihat ibu dari kawan sekolahnya mengandung. Sejumlah orangtua peserta bincang-bincang mengaku kebingungan ketika harus menjawab pertanyaan dari anak-anak mereka seputar seksualitas.

"Kadang saya tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya," kata Ali Rosadi (35) , bapak seorang putri berumur lima tahun bernama Aliyya Fatimah Az-Zahra.

Ali dan istrinya, Diana Mardikaningsih, merasa perlu memberi pendidikan seks sejak dini kepada anaknya. Pasalnya, sewaktu kecil Ali tidak pernah mendapat pendidikan seks dari orangtua. Berbicara tentang seks saat itu dikenang Ali sebagai sesuatu yang tabu.

"Saya pernah bertanya kepada ibu, bagaimana sampai saya lahir. Ibu hanya bilang, ’Nanti kamu akan tahu sendiri kalau sudah besar’," kata Ali mengenang masa kecilnya.

Belakangan ketika berumur tujuh tahun, Ali secara kebetulan melihat seekor sapi yang melahirkan. Saat itu ia berpikir, kira-kira seperti itulah seorang bayi manusia dilahirkan. Dari pengalaman di masa kecil, Ali kini pelan-pelan mulai memberikan pengertian seputar seksualitas kepada anaknya.

Kejengahan membicarakan masalah seks di ruang keluarga juga dialami Siti Maemunah (58). Ibu dari empat anak ini tidak pernah membicarakan masalah seks dalam keluarga.

"Risi rasanya. Saya merasa malu kalau mau ngomong (tentang seks) kepada anak-anak. Kebetulan anak-anak juga tidak pernah bertanya soal pengetahuan seks," kata Maemunah yang ternyata juga tidak dibiasakan berbicara soal seks dari orangtuanya dulu.

Ketika anak putrinya mendapat haid pertama, Maemunah tidak menjelaskan secara panjang lebar tentang proses terjadinya haid.

"Saat itu saya cuma bilang, yang namanya perempuan setiap bulan selalu mendapat haid. Itu saja."

Dekat tapi jengah

Pendidikan seks, menurut Clara Kriswanto, psikolog dan konsultan keluarga dari Jagadnita Consulting, perlu ditanamkan sejak usia dini. Persoalannya, adalah ada keluarga yang belum bisa secara terbuka berbicara soal seks di ruang keluarga.

Ada orangtua yang sangat dekat dengan anak. Akan tetapi, mereka tidak mengetahui problem seksualitas anak-anak mereka hanya semata karena rasa sungkan atau jengah untuk membicarakannya. Clara menyarankan agar kedekatan orangtua-anak tersebut justru dimanfaatkan untuk saling membuka diri dalam bicara masalah seksualitas. Menjebol rasa sungkan atau malu merupakan langkah awal yang sangat penting. Jika orangtua masih merasa sulit untuk memulai, diperlukan tahap-tahap menuju keterbukaan.

"Kalau belum bisa terbuka dengan anak, cobalah memulai membicarakannya dengan pasangan kita," kata Clara Kriswanto, yang menulis buku Seks, Es Krim dan Kopi Susu: Ngobrolin Seks di Ruang Keluarga.

Pasangan Ali Rosadi-Diana masih sempat mengalami kejengahan membicarakan soal seks dengan anak. Di depan sang anak, misalnya, Ali dan istrinya masih jengah untuk menyebut nama alat kelamin pria dan wanita. Maka, mereka menggunakan istilah lain yang mereka ciptakan sendiri. Belakangan ketika mereka telah berani untuk menyebut dengan istilah vagina, sang anak telah telanjur menggunakan istilah ciptaan mereka sendiri.

Belakangan, keluarga Ali sudah semakin nyaman membicarakan masalah seksualitas. Sewaktu mandi bersama ibunya, Aliyya, anaknya, bertanya mengapa payudara ibunya lebih besar daripada papanya. Pertanyaan itu digunakan istri Ali menjelaskan perbedaan buah dada perempuan dan lelaki.

Keluarga pasangan Soraya Haque-Ekki Soekarno lebih terbuka dalam hal membicarakan seks di ruang keluarga. Orangtua Soraya dulu cukup terbuka membicarakan soal seks dengan anak-anaknya. Kepada tiga anaknya, Soraya merasa nyaman-nyaman saja

"Saya telah mengajarkan soal kekelaminan sejak anak mulai bisa bicara. Kami ajak anak mandi bersama. Setelah dewasa, saya bisa mengajarkan dengan gambar," kata Soraya, ibu tiga anak.

"Orangtua memang harus siap dengan jawaban. Jangan tersipu-sipu. Nama alat kelamin dijelaskan dengan nama sebenarnya. Jangan diberi nama aneh-aneh. Kami menamakan pengertian bahwa itu bukan sesuatu yang kotor," kata Soraya.

Buku dan lingkungan

Agar proses penanaman pengertian itu tidak terkesan menggurui atau menegangkan, Soraya menempatkan masalah seks sebagai bahan obrolan sehari-hari. "Seperti kita berdialog saja supaya anak-anak tidak takut," kata Soraya.

Keluarga pasangan Gandhi (41)-Astu (34) dari Cinere menyiasati pertanyaan anak itu dengan menyediakan poster anatomi tubuh manusia yang banyak dijual di toko buku. Kedua anak kembarnya dulu ketika berumur tiga tahun suka bertanya-tanya soal organ tubuh lewat gambar tersebut dan dengan gaya pendongeng Gandhi menceritakan soal fungsi organ tersebut. Belakangan, ketika anaknya sudah duduk di kelas lima sekolah dasar, Gandhi menyediakan kamus visual yang secara lengkap menjelaskan fungsi organ tubuh berikut proses reproduksi.

"Kalau ada yang enggak jelas, mereka baru tanya kita. Mereka tak malu-malu kok karena sejak kecil kami membiasakan diri untuk bicara soal seks sebagai pengetahuan umum," kata Gandhi yang bekerja sebagai konsultan teknologi informasi.

Selain buku, lingkungan sekitar rumah bisa memberi banyak pemahaman anak tentang seksualitas. Soraya mengisahkan anak-anaknya yang kebetulan sewaktu berumur tiga tahun melihat anjing kawin. Peristiwa alamiah itu dijadikan Soraya untuk menjelaskan soal proses reproduksi. Dengan bahasa yang bisa dipahami anak, Soraya menjelaskan bahwa setelah kawin anjing itu akan bunting dan kemudian melahirkan.

"Dari peristiwa itu saya juga ajarkan kepada anak-anak perbedaan antara manusia dan binatang. Kami tanamkan nilai dan norma pada manusia yang berbeda dengan binatang," tutur Soraya.

No comments:

Post a Comment