Wednesday, July 16, 2008

Hak Anak Yang Terabaikan

Seorang Suami dan Istrinya tengah menghadiri sidang perceraian yang akan memutuskan siapa yang mendapat hak asuh anak.

Sambil berteriak histeris dan melompat-lompat si istri berkata: "Yang Mulia, Saya yang mengandung, melahirkan bayi itu ke dunia dengan kesakitan dan kesabaran saya!! Anak itu harus menjadi hak asuh saya!!"

Hakim lalu berkata kepada pihak suami: "Apa pembelaan anda terhadap tuntutan istri Anda"
Si Suami diam sebentar, dengan nada datar ia berkata: "Yang mulia... Jika saya memasukkan koin ke mesin minuman softdrink, mesinnya bergoyang sebentar, dan minumannya keluar, Menurut Pak Hakim ....... Minumannya milik Saya atau Mesinnya?"

Sebuah anehdot yang menarik menurut saya.

Selama ini kita sebagai orang tua mungkin belum begitu menyadari bahwa dunia anak adalah dunia bermain dan bersukacita. Di benaknya belum terpikirkan tanggung jawab layaknya orang dewasa. Namun mereka sering merasakan, bahkan menjadi korban masalah yang terjadi di antara orang dewasa. Bila mau diungkap mungkin banyak lagi pelanggaran HAM di keluarga-keluarga yang tidak kita sadari. Ketika orang tua tidak meluangkan waktu dan memberikan kesempatan anaknya untuk berekreasi saja sudah melanggar HAM, karena rekreasi sendiri merupakan hak anak.

Apalagi bila melihat kenyataan begitu banyak orang tua yang asyik bergumul dalam egonya masing-masing sampai akhirnya terjadilah perceraian, pelanggaran itu semakin besar seiring hilangnya sebagian besar hak yang semestinya diterima oleh anak. Tidak jarang di tengah pertengkaran orang tua, salah satu pihak melampiaskan kemarahannya kepada anak. Anak menjadi telantar dan sebagian turun ke jalan untuk mencari pengganti kasih sayang yang hilang.

Padahal ketentuan dalam undang-undang dan bahkan konvensi PBB tentang perlindungan hak anak sepertinya sudah lebih dari cukup untuk menjamin anak memperoleh haknya. Namun kenyataan berkata lain. Sebagai contoh, Dinas Bina Mental dan Kesejahteraan Sosial Pemerintah DKI Jakarta mencatat, bahwa di Jakarta sejumlah 8.158 telah menjadi anak jalanan. Bahkan secara keseluruhan, selama tahun 2005, Komnas Perlindungan Anak mencatat terjadinya 688 kasus kekerasan pada anak, 381 meliputi kekerasan fisik dan psikologis. Dan yang paling ironis adalah bahwa 80 persen pelaku kekerasan adalah ibu kandung korban. Sedangkan balita terlantar pada tahun 2005 tercatat ada 1.138.126 anak dan anak terlantar ada 3.308.642 orang. Diperkirakan pula setiap 1-2 menit terjadi kekerasan pada anak di Indonesia.

Soal data ini mohon maaf bila dianggap kurang valid. Dari berbagai sumber yang konon kabarnya merujuk ke sumber yang sama yaitu Pusdatin Komisi Perlindungan Anak ternyata angka-angkanya berlainan dan semuanya merujuk ke data tahun 2005. Data tahun selanjutnya sampai saat ini saya belum menemukan. Yang lebih parah lagi, bila kita membuka website KPAI tidak ada data apapun yang bisa kita temukan disana. Setidaknya ini membuktikan bahwa kinerja KPAI masih perlu dipertanyakan. Padahal alokasi dana yang dikeluarkan pemerintah kepada KPAI cukup besar. Anggaran yang diperoleh KPAI dari APBN tahun 2006 sebanyak Rp 12 milyar dan tahun 2007 sebesar Rp 16 milyar.

Yang sedikit mengharukan adalah pernyataan dari Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Giwo Rubianto Wiyogo kepada wartawan, di Jakarta sebagaimana dimuat dalam SuaraKaryaOnline. "Penyelenggara perlindungan anak di Indonesia, termasuk pemerintah dan aparat penegak hukum belum memiliki respon yang tinggi terhadap perlindungan anak. Hal ini dimungkinkan sebab masalah perlindungan anak tidak mengandung unsur politis, sehingga tidak menjadi prioritas utama dari pemerintah. Perangkat perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang perlindungan anak, sebetulnya sudah lebih maju dibandingkan dengan negara-negara lain. Tetapi sayangnya, KPAI yang ditunjuk resmi oleh pemerintah sebagai lembaga yang memantau pelaksanaan perlindungan anak di Indonesia, tidak memiliki legal standing.”

Menurutnya, KPAI ibarat macan ompong. "Kita ini ibaratnya di kasih pistol, tapi tidak diberikan pelurunya.Sebab, kalau terjadi kekerasan terhadap anak, KPAI tidak bisa langsung mengambil anak yang menjadi korban kekerasan tersebut, karena kita tidak memiliki legal standing."

Selain KPAI, Depsos pun bernasib sama. Kendati sudah ada UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, masih banyak anak-anak Indonesia yang menjadi korban kekerasan akibat kurang adanya perlindungan dari Negara. Sangat disayangkan Depsos tidak mampu melakukan kegiatan pemberdayaan untuk anak-anak Indonesia. Padahal, dalam laporan Sekjen dan para Dirjen Depsos dalam rapat dengan pendapat (RDP) dengan Komisi VIII Depsos masih punya kelebihan anggaran, alias anggarannya nganggur. Depsos kurang giat. Menurut laporan dari Sekjen dan Dirjen masih ada dana sekitar 40% dari total anggaran Depsos. Oleh karena itu, Komisi VIII akan mengevaluasi kembali anggaran itu, kendati anggaran Depsos tergolong kecil dibanding dengan departemen atau instansi lainnya, yakni, Rp 2 triliun. Wuaaah….

Bila dikaji secara hukum, pelanggaran hak asasi manusi (HAM) terhadap anak telah terjadi. Hanya, apakah anak mengerti HAM? Jangankan menuntut, mengetahui arti HAM pun mungkin tidak. Apalagi mengenal UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak (PA) dan Konvensi Hak Anak (KHA). Anak selalu menjadi korban dari ego orang tua dan ketidakberdayaan negara.

Walau saya tidak menyukai acara infotainment, saya kadang mendengar teman bergosipria tentang selebritis anu yang begitu ribut memperebutkan anak. Bahkan sampai terjadi acara culik menculik anak. Padahal dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang diperkuat dengan UU PA, dikatakan agar anak mendapatkan haknya untuk tetap berhubungan dengan orang tuanya bila dipisahkan dengan salah satu orang tua.

Di dalam UU Perkawinan, salah satu pasalnya menjelaskan, apabila terdapat perceraian antara suami - istri yang mempunyai anak berusia 5 tahun ke bawah, maka yang berhak menjadi wali asuh adalah ibu. Berbeda jika anak tersebut telah berusia diatas 5 tahun, hak asuh atas anak diputuskan oleh hakim. Dalam hal ini bisa dimungkinkan hakim mendapatkan pertimbangan-pertimbangan dari si anak untuk menentukan siapa yang berhak menjadi wali asuhnya. Yang terpenting, dalam memberikan putusan, hakim harus mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak. Meski telah diputus hak asuh atas anak namun tidak diperbolehkan memutuskan hubungan darah atas keduanya.

Tapi…
Mengapa masih banyak kasus salah satu orang tua membawa lari atau menyembunyikan anak dari orang tua yang lainnya. Bahkan anak diintimidasi secara fisik ataupun psikis untuk tidak berhubungan lagi dengan salah satu orang tuanya.

Salah orang tua kah, atau salah pemerintah yang tidak mampu menyosialisasikan ketentuan itu..?

Hmmmm… pedih jendraaal….

Dari Rawins.com

No comments:

Post a Comment